Beranda | Artikel
Seri Faidah Kitab Tauhid [9]
Kamis, 20 Oktober 2016

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam seri faidah Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Pada bagian-bagian sebelumnya telah disampaikan hal-hal yang berkenaan dengan kandungan dan faidah dari ayat-ayat dan hadits yang dibawakan oleh beliau di bagian awal atau mukadimah Kitab Tauhid. Ayat-ayat dan hadits yang beliau bawakan menunjukkan kepada kita betapa pentingnya tauhid bagi seorang muslim. Sebab tauhid inilah tujuan penciptaan jin dan manusia. Tauhid ini pula yang menjadi misi utama dakwah para rasul. Tauhid pula perintah terbesar di dalam Islam dan kunci keselamatan dari azab neraka. Karena itulah tauhid menjadi materi pokok dakwah Islam di tengah masyarakat bahkan kepada orang-orang yang sudah berilmu sekalipun.

Satu hal yang perlu diingat pula bahwasanya hakikat tauhid bukanlah semata-mata dengan mengakui Allah itu ada, atau Allah yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu. Ini semua tidak cukup. Sebab hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan serta berlepas diri dari segala bentuk sesembahan selain-Nya. Apabila seorang beribadah kepada Allah sementara di sisi lain dia juga beribadah kepada selain Allah; maka justru inilah yang disebut dengan syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

Keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta dan penguasa alam semesta ini disebut oleh para ulama dengan istilah tauhid rububiyah. Tauhid semacam ini sudah diakui oleh kaum musyrikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun demikian ternyata beliau tetap menyeru mereka untuk masuk Islam dengan mengucapkan kalimat tauhid laa ilaha illallah. Dan ternyata mereka pun enggan. Mereka menolak walaupun hanya sekedar untuk mengucapkan kalimat tauhid. Mereka memahami bahwa maksud dari kalimat tauhid adalah membuang segala bentuk sesembahan selain Allah dan menjadikan ibadah untuk Allah semata. Inilah yang tidak mereka inginkan.

Oleh sebab itu sungguh aneh apabila ada diantara para da’i Islam yang menganggap bahwa keyakinan tentang tauhid rububiyah ini sudah cukup menjadikan seorang termasuk kaum muslimin, atau menganggap bahwa makna kalimat tauhid adalah tidak ada pencipta selain Allah. Ini semua adalah bentuk kekeliruan dan penyimpangan dalam memahami tauhid dan aqidah Islam. Sehingga mereka mengira bahwa perbuatan berdoa kepada selain Allah tidak membatalkan Islam; padahal doa adalah ibadah dan menujukan ibadah kepada selain Allah termasuk syirik dan kekafiran. Begitu pula berbagai bentuk ibadah berupa nadzar, sembelihan, dan istighotsah kepada selain Allah yang dilakukan oleh sebagian orang di masa kini dengan kedok kecintaan kepada para wali atau orang salih. Benar-benar sebuah kenyataan pahit yang tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar, berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut dengan syirik. Syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam hal uluhiyah, adapun syirik dalam hal rububiyah maka secara umum hal ini tidak ada/tidak terjadi.” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)

Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan setiap muslim untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk perbuatan syirik. Inilah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang musyrik kala itu. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila’.” (ash-Shaffat : 35-36)

Hal ini menunjukkan bahwa mereka -kaum musyrikin di masa itu- tidak menghendaki tauhid uluhiyah. Akan tetapi mereka menginginkan bahwa sesembahan itu banyak/berbilang sehingga setiap orang bisa menyembah apa pun yang dia kehendaki. Oleh sebab itu perkara semacam ini harus diketahui, karena sesungguhnya semua penyeru aliran sesat yang lama maupun yang baru senantiasa memfokuskan dalam hal tauhid rububiyah. Sehingga apabila seorang hamba sudah meyakini bahwa Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki menurut mereka inilah seorang muslim. Dengan pemahaman itulah mereka menulis aqidah mereka. Semua aqidah yang ditulis oleh kaum Mutakallimin tidak keluar dari perealisasian tauhid rububiyah dan dalil atasnya. Padahal keyakinan semacam ini tidaklah cukup, sebab harus disertai dengan tauhid uluhiyah (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 31)

Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anah, isti’adzah, istighotsah, menyembelih, bernazar, dsb. Oleh sebab itu ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi terlebih-lebih lagi selain mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)

Seandainya tauhid rububiyah itu sudah cukup niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyah. Adapun tauhid rububiyah maka itu adalah dalil atau landasan untuknya (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30).

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-kitab-tauhid-9/